Panen Raya yang Menyisakan Nestapa: Negara Harus Hadir untuk Petani

Oleh: Ketua LSM Forum Aspirasi & Advokasi Masyarakat (FAAM) DPC Nganjuk

Bayunews.comMusim panen raya seharusnya menjadi momen penuh berkah bagi petani. Namun, realita di lapangan justru menyajikan ironi. Harapan petani untuk menikmati hasil jerih payahnya pupus di tengah ketidakpastian penyerapan gabah oleh Perum Bulog. Padahal, Presiden Prabowo Subianto telah menegaskan bahwa Bulog wajib membeli gabah petani sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Namun, amanat tersebut tampaknya belum sepenuhnya diterjemahkan secara serius di tingkat daerah, khususnya di Kabupaten Nganjuk.

Petani kembali menjadi korban dari permasalahan klasik yang terus berulang: Bulog berdalih tak mampu menyerap seluruh gabah petani karena keterbatasan kapasitas gudang dan minimnya fasilitas pengering. Alhasil, petani terpaksa menjual hasil panennya kepada tengkulak dengan harga yang jauh di bawah HPP. Ini bukan sekadar soal harga, tetapi tentang keadilan dan kepastian bagi petani yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.

Belakangan, Kepala Cabang Bulog Kediri memberikan klarifikasi bahwa Bulog tetap menerima gabah petani yaitu gabah kering panen (GKP), namun dengan standar tertentu seperti kadar air maksimal 25 persen dan gabah tidak boleh bertunas. Standar ini memang penting untuk menjaga mutu beras, namun patut dipertanyakan mengapa hal tersebut tidak disosialisasikan secara optimal sejak awal. Mengapa kesiapan gudang dan fasilitas pengering tidak disiapkan sejak musim tanam dimulai?

Kondisi ini menjadi semakin memprihatinkan sampai para pemangku kepentingan di tingkat desa mulai menyuarakan keprihatinannya. Kepala Desa Kampung Baru, Kecamatan Tanjung Anom, Sosilo Dwi Prasetyo, bersama Ketua Asosiasi Kepala Desa (AKD) Nganjuk, Dedi Nawan, telah mendorong dilakukannya audiensi dengan DPRD dan instansi terkait guna mencari solusi konkret atas persoalan serapan gabah ini.

Sebagai Ketua LSM FAAM DPC Nganjuk, Penulis sangat mengapresiasi langkah tersebut. Ini adalah bukti bahwa para pemimpin desa tidak tinggal diam terhadap penderitaan petani.

Ironisnya, alasan keterbatasan gudang dan alat pengering selalu muncul ketika panen tiba. Padahal, musim tanam telah berlangsung sejak beberapa bulan sebelumnya. Bukankah ini seharusnya menjadi waktu yang cukup bagi Bulog dan instansi terkait untuk menyiapkan strategi penyerapan yang matang?

Minimnya antisipasi dan lemahnya koordinasi membuat persoalan ini Muncul. Sayangnya, yang selalu menjadi korban adalah petani.

Pemerintah tidak boleh hanya menjadikan petani sebagai simbol ketahanan pangan saat krisis melanda, tetapi justru abai ketika terjadi surplus produksi.

Perlu diingat bahwa Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Perum Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional secara tegas mengamanatkan kewajiban Bulog untuk menyerap gabah dan beras petani guna menjaga stabilitas harga dan menjamin cadangan pangan pemerintah. Hal ini juga diperkuat oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020 yang menetapkan HPP sebagai bentuk perlindungan kepada petani.

Jika Bulog terus berlindung di balik alasan teknis, ini menunjukkan lemahnya manajemen internal dan buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Bulog di wilayah Nganjuk. Transparansi mengenai kapasitas gudang, stok cadangan, dan distribusi beras harus menjadi perhatian utama.

Jika memang diperlukan, pemerintah harus segera menambah titik serap, membangun gudang sementara, atau bahkan menggandeng BUMDes, koperasi tani, dan badan usaha lokal lainnya untuk mendukung proses penyerapan. Inilah bentuk keberpihakan nyata kepada petani, bukan sekadar jargon.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, semangat petani untuk menanam akan perlahan luntur. Dan ketika semangat itu padam, ketahanan pangan nasional akan berada di ujung tanduk. Negara harus hadir secara utuh—bukan hanya lewat slogan, tetapi lewat kebijakan konkret dan berpihak kepada mereka yang menjaga kehidupan dari ladang dan sawah.

Petani bukan sekadar pelaku produksi, mereka adalah penyangga negeri. Sudah saatnya mereka mendapatkan keadilan yang seharusnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *