Menyikapi Penyimpangan Prinsip Koperasi dan Koperasi Syariah di Kabupaten Nganjuk

Opini oleh: Achmad UlinuhaKetua

LSM Forum Aspirasi & Advokasi Masyarakat (FAAM) DPC Nganjuk

 

Koperasi, termasuk koperasi syariah, seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun ekonomi kerakyatan yang berasaskan nilai-nilai keadilan, kekeluargaan, dan gotong royong. Lebih dari sekadar lembaga keuangan, koperasi syariah diharapkan menjadi alternatif lembaga pembiayaan yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan keberkahan sesuai syariat Islam. Namun realitas yang terjadi di Kabupaten Nganjuk menunjukkan adanya penyimpangan serius yang harus menjadi perhatian bersama.

Kasus yang mencuat baru-baru ini melibatkan anggota koperasi yang mengalami kesulitan ekonomi dan mencoba mengajukan mediasi untuk pengurangan margin serta pembebasan denda keterlambatan. Alih-alih mendapatkan solusi, anggota justru dibebani denda dan tambahan margin yang dalam hitungan 2 tahun keterlambatan nilainya melebihi pokok pinjaman awal. Ini jelas bertentangan dengan prinsip koperasi dan prinsip syariah.

Dalam sistem pembiayaan berbasis akad murabahah, seharusnya harga dan keuntungan ditentukan di awal dan bersifat tetap, tanpa tambahan karena keterlambatan. Bahkan, dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, disebutkan bahwa dalam akad murabahah, pihak penjual wajib mengungkapkan harga pokok barang dan besarnya keuntungan yang diinginkan secara transparan. Jika margin yang dikenakan melebihi pokok akibat tambahan-tambahan di luar akad awal, maka itu dapat dikategorikan sebagai praktik riba, yang jelas dilarang dalam syariah.

Selain itu, Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah menegaskan bahwa harga jual yang telah disepakati tidak boleh berubah sepanjang masa akad, termasuk dalam kondisi keterlambatan pembayaran. Ini menunjukkan bahwa tambahan margin atau denda yang memberatkan adalah bentuk pelanggaran nyata terhadap prinsip syariah.

Tidak hanya itu, Fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran mengatur bahwa sanksi keterlambatan hanya boleh dikenakan kepada nasabah yang mampu tetapi sengaja menunda pembayaran, dan dana sanksi tersebut tidak boleh menjadi pendapatan koperasi, melainkan harus disalurkan untuk kegiatan sosial.

Dalam praktik koperasi syariah yang kami temui, keterlambatan justru dijadikan alasan untuk memberlakukan tambahan denda dan beban margin yang memberatkan. Bahkan, jika terjadi gagal bayar, jaminan (agunan) yang telah diikat melalui notaris bisa disita tanpa mekanisme musyawarah yang adil,
Tentunya melanggar Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Gadai (Rahn).

Lebih lanjut, dalam praktik hukum positif Indonesia, koperasi atau lembaga pembiayaan yang telah mendaftarkan agunan sebagai Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, memang memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek agunan tanpa perlu melalui mekanisme musyawarah. Hal ini dikenal sebagai parate eksekusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa jika debitur wanprestasi, pemegang hak tanggungan pertama berhak menjual objek melalui pelelangan umum atas kekuasaannya sendiri.

Namun, dalam konteks koperasi, apalagi koperasi syariah, tindakan eksekusi sepihak tanpa musyawarah sangat bertentangan dengan asas koperasi, yaitu asas kekeluargaan dan gotong royong. Dalam prinsip syariah pun, penyelesaian masalah harus mengedepankan itikad baik, keadilan, dan musyawarah (tahkim) terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan eksekusi. Oleh karena itu, koperasi syariah idealnya tetap membuka ruang mediasi dan restrukturisasi sebelum menempuh jalan lelang, demi menjaga nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bersama.

Penerapan hukum positif tidak boleh menghilangkan kewajiban moral koperasi untuk tetap menjunjung tinggi prinsip musyawarah dan perlindungan terhadap anggota sebagai bagian dari tujuan koperasi itu sendiri.

Parahnya lagi, koperasi juga mensiasati calon peminjam yang bukan anggota untuk menjadi anggota hanya sebagai syarat administratif, bukan berdasarkan keinginan sukarela sebagaimana prinsip koperasi. Padahal, dalam filosofi koperasi, keanggotaan adalah bentuk kesadaran kolektif untuk saling membantu, bukan sekadar formalitas untuk mendapatkan pembiayaan.

Penyimpangan ini bukan hanya mencederai semangat koperasi, tetapi juga merusak nilai-nilai syariah. Koperasi syariah tidak boleh menjadi lembaga rentenir berkedok agama yang menghisap masyarakat kecil dengan bungkus istilah syariah.

Melihat kondisi ini, LSM Forum Aspirasi & Advokasi Masyarakat (FAAM) DPC Nganjuk menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mendesak Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Nganjuk serta Dewan Pengawas Syariah untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh koperasi dan koperasi syariah di wilayah Kabupaten Nganjuk.
2. Mendorong penegakan prinsip koperasi berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan prinsip syariah yang sebenarnya.
3. Meminta pembinaan dan pengawasan ketat terhadap koperasi yang terbukti menyimpang dari asas sukarela, gotong royong, keadilan, dan transparansi.
4. Mengajak masyarakat untuk lebih cerdas dan kritis dalam memilih lembaga keuangan, khususnya koperasi syariah, agar tidak terjebak dalam praktik ekonomi yang justru merugikan.

Sudah saatnya koperasi dan koperasi syariah di Nganjuk benar-benar kembali ke khitahnya: menjadi alat pemberdayaan ekonomi rakyat, bukan menjadi instrumen penindasan ekonomi berbaju syariah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *