opini oleh Achmad ulinuha (Ketua DPC FAAM Nganjuk)
Bayunews.com- Praktik pungutan yang dilabeli sebagai “peran serta masyarakat” terus menjadi sorotan, terutama menjelang musim Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dengan mengatasnamakan komite sekolah, benarkah ini merupakan bentuk murni keterlibatan masyarakat, atau justru cara terselubung untuk melegalkan pungutan liar?
Komite sekolah, yang seharusnya menjadi jembatan antara sekolah dan masyarakat, sering kali disalahgunakan sebagai tameng untuk membenarkan pungutan yang membebani orang tua. Laporan menunjukkan bahwa banyak orang tua merasa terpaksa memberikan sumbangan yang seolah-olah bersifat sukarela, namun dalam praktiknya menyerupai kewajiban.
Pungutan ini sering kali dibungkus alasan seperti mendukung program pendidikan, pengembangan fasilitas, atau kegiatan ekstrakurikuler. Namun, transparansi dalam pengelolaan dana tersebut kerap dipertanyakan. Beberapa orang tua bahkan merasa takut menolak karena khawatir anak-anak mereka akan diperlakukan berbeda.
Padahal, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 dengan tegas melarang pungutan yang memberatkan peserta didik atau orang tua. Sayangnya, aturan ini sering diinterpretasikan berbeda, menciptakan celah bagi sekolah untuk mengesahkan pungutan dengan dalih “partisipasi masyarakat.”
Tidak dapat disangkal bahwa minimnya anggaran pemerintah untuk pendidikan sering menjadi alasan pembenaran. Meski begitu, memindahkan beban ke orang tua tanpa mekanisme yang adil dan transparan adalah tindakan yang patut dikritisi.
Penulis, yang juga Ketua LSM FAAM, menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat terkait aturan dan undang-undang pendidikan. Pendidikan adalah hak setiap warga negara, bukan komoditas yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang mampu.
Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, Pasal 13 Ayat 1, disebutkan bahwa komite sekolah wajib melaporkan penggunaan dana kepada orang tua/wali peserta didik, masyarakat, dan kepala sekolah setidaknya sekali dalam satu semester. Namun, dalam praktiknya, laporan ini sering diabaikan, menciptakan ketidakpercayaan di kalangan orang tua.
Pemerintah perlu lebih serius memastikan alokasi dana pendidikan dilakukan secara tepat sasaran. Di sisi lain, sekolah dan komite harus meningkatkan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan dana masyarakat. Partisipasi masyarakat tentu penting, tetapi harus dilakukan dengan prinsip sukarela, adil, dan tidak diskriminatif.
Pengawasan dari berbagai pihak, termasuk media dan LSM sebagai representasi masyarakat, sangat diperlukan. Dengan pengawasan yang baik, tidak ada pihak yang dirugikan, dan pendidikan sebagai hak setiap warga negara dapat diwujudkan secara merata.
Apakah “peran serta masyarakat” benar-benar partisipasi sukarela, atau justru beban tersembunyi untuk keuntungan segelintir oknum?